Inilah pria yang menempuh perjalanan 563.000 km per tahun

Bosindoro.com | Felipe Neira selalu menginginkan pekerjaan yang memungkinkanya berkeliling dunia, jadi ketika mahasiswa-mahasiswa Cile lain di Universitas Santiago memilih pekerjaan konvensional pada liburan musim panas, Neira mendaftarkan diri sebagai pramugara musiman.

Inilah pria yang menempuh perjalanan 563.000 km per tahun

Ketika itu usianya baru awal 20-an, untuk pertama kalinya ia melihat dunia yang lebih luas. Terbang ke luar negeri dan sering bepergian merupakan gaya hidup yang ia bisa biasakan.
“Ketika saya tamat perguruan tinggi saya mencari pekerjaan yang memungkin saya tetap bepergian,” Neira berkata.
Ia mendapat peluang itu sebagai manajer ekspor di Concha y Toro, produsen anggur terbesar di Amerika Latin.
Selama tujuh tahun berikutnya, warga Cile itu terus-menerus bepergian, mewakili perusahaan itu di kawasan Sub-Sahara Afrika dan pada akhirnya bertugas di Stockholm sebagai direktur komersial untuk cabang negara-negara Nordik.
Neira sekarang bekerja untuk importir anggur terbesar di Baltik, Global Wine House, sebagai direktur pelaksana yang membawahi portfolio Cile.
Tugasnya mencakup pertemuan dengan para pembuat anggur untuk mengembangkan minuman baru bagi konsumen di Eropa.
Ia meluncurkan enam anggur baru Cile pada 2015 dan berencana meluncurkan tiga lainnya pada 2016 di berbagai supermarket yang terletak di lebih dari 20 negara Eropa.


Felipe Neira Image copyrightFELIPE NEIRA
Image captionNeira menghabiskan waktu 20 minggu per tahun dalam perjalanan.

Neira, 36, mendapati satu kakinya berada di tanah airnya di Cile dan satu lagi di Eropa, sebagai benua di mana ia menghabiskan sebagian besar masa dewasanya.
Ia melakukan perjalanan melintasi Atlantik dari rumahnya di Berlin yang menjadi pangkalannya ke Santiago lima kali setahun selama sampai 10 hari setiap kali pergi.
Ia juga pergi ke kantor pusat perusahaannya di Tallinn, Estonia, selama satu minggu setiap bulan. Selain itu, ia juga melakukan perjalanan setiap bulan di wilayah Eropa untuk pengecekan pasar, pelatihan dan menjalin kerja sama.
Dengan demikian, Neira melakukan perjalanan 20 minggu per tahun, menempuh jarak sekitar 350.000 mil atau 563.000 km.
Ia mengatakan keuntungan tambahan dari kehidupannya yang diwarnai dengan banyak perjalanan ini adalah ia mendapatkan liburan gratis dari hasil mengumpulkan poin melalui dua program kesetiaan perusahaan penerbangan.
Namun ada sisi negatif dari kehidupan yang melompat dari satu negara ke negara lain dan dari satu budaya ke budaya lain; menjalin hubungan pribadi yang lestari terbukti tak mudah, mengatasi adat istiadat berbeda-beda bisa menyita energi, menjalankan rutinitas hampir tidak mungkin, dan setelah bertahun-tahun ini, Neira masih belum menemukan jalan untuk mengatasi musuhnya yang paling besar: jetlag.

Belajar untuk percaya



Felipe NeiraImage copyrightFELIPE NEIRA
Image captionTugas Neira mencakup pertemuan dengan produsen anggur untuk mengembangkan jenis baru.

Gaya hidup antarbudaya telah memberikan banyak pelajaran bagi Neira.
Misalnya, ketika tasnya tertinggal di kereta dari Bandara Oslo ke ibu kota Norwegia beberapa tahun lalu, ia yakin tak akan pernah melihat tasnya lagi.
Tetapi karena tasnya berisi paspor, laptop dan 2.000 euro atau sekitar Rp30 juta, ia membuat laporan kehilangan.
Kereta yang sama kembali sekitar satu jam kemudian dan Neira terkejut mendapatkan kembali tidak hanya tasnya tetapi juga seluruh isinya. Ia menjelaskan bahwa “sistem saling percaya di Eropa adalah sangat asing bagi kami di Amerika Selatan”.
Ia menerapkan pelajaran itu pada hubungan pribadi.
“Di Cile kami sangat berhati-hati ketika menjalankan bisnis terkait dengan siapa kita percaya dan siapa yang tidak kami percaya,” katanya, “tetapi di sebagian besar wilayah Eropa mereka memulai dengan cara mempercayai kita secara otomatis.”
Hal itu lantas membuatnya memulai pertemuan dengan mitra-mitra bisnis dari posisi kepercayaan -bukan skeptisme- dalam hal kemampuan mereka.
Perbedaan lain yang dipetik oleh orang Cile dalam kehidupan praktis adalah kapan harus bersikap sopan dan kapan harus berterus terang. “Di Amerika Selatan kami tidak mengatakan ‘tidak’. Kami akan mengatakan ‘mungkin’, ‘ya’ atau ‘mari kita bicarakan nanti’ untuk mengatakan ‘tidak’,” jelas Neira.
Kami berpikir kami bersikap sopan dengan melakukan itu, tetapi … tidak ada ruang untuk percakapan tak lagsung seperti itu di Eropa.”
Neira juga mendapati bahwa pekerjaannya baru-baru ini di Eropa Timur lebih konfrontatif dibandingkan apa yang dialaminya di Skandinavia.
“Masalah kecil bisa menjadi pertengkaran besar yang diwarnai teriakan dan kita merasa mitra bisnis akan memutus hubungan secara total,” jelasnya.
“Namun kemudian kita mengetahui bahwa begitulah mereka. Mereka suka menakut-nakuti kita dan menempatkan kita dalam situasi yang sangat menantang untuk mengetahui batas kita.”

Realitas



EstoniaImage copyrightGETTY IMAGES
Image captionDi kota seperti Tallinn, Estonia, Neira berusaha menjalani kehidupan normal.

Apa yang terjadi, kehidupan melancong yang pernah ia impikan tak semewah kenyataannya, kata Neira.
“Faktanya banyak perjalanan ini hanyalah dari satu kantor ke kantor lain,” katanya.
“Teman-teman saya tidak mempercayai saya, tapi pergi ke Praha, Oslo, Madrid atau kemana saja, tak penting lagi karena kita pergi ke bandara, naik taksi, pergi ke kantor, pergi ke kantor, kembali ke airport dan kita pergi ke tujuan berikutnya.”
Neira menginap di hotel yang sama dari waktu ke waktu karena berada di lingkungan yang biasa dapat menghemat waktu dan usaha.
Kondisi itu membantunya jika ia tidak harus memulai sesuatu dari awal misalnya, mencari restoran terdekat atau mencari rute menuju ke dan dari tempat pertemuan.
Di tempat-tempat seperti Estonia, yang telah menjadi rumah keduanya, Neira mengatakan ia menggunakan gym di hotel, pergi ke bioskop dan menongkrong bersama jaringan teman-teman yang bangun selama tahun-tahun terakhir.
Ini membantunya mempertahankan kelanjutan dalam kehidupannya yang selalu berpindah.
Ketika ia pulang ke Santiago, ia sering menginap di rumah teman atau keluarga -bukan di hotel - sehingga ia tidak kehilangan kontak dengan orang-orang yang telah mengenalnya sejak ia masih anak-anak.

Kembali ke nol



Santiago Image copyrightGETTY IMAGES
Image captionKetika kembali ke Santiago, Cile, Neira biasanya menginap di rumah keluarga atau teman.

Untuk mempertahankan hubungan erat dengan relasi baik di Eropa maupun Cile dapat menjadi tantangan, tetapi membangun hubungan yang berarti lebih sulit.
"Begitu kita mulai mengenal seseorang kita harus pergi, dan ketika kita kembali 10 hari kemudian semuanya sudah kembali ke nol," Neira.
Neira bersikeras ia tidak merasa kesepian dengan gaya hidupnya tersebut, tetapi karena ketiadaan rutinitas mengacaukan kehidupan pribadinya.
Bahkan untuk memulai belajar bahasa Jerman saja tida terwujud. “Tak mungkin saya mendaftarkan diri untuk kursus di sekolah bahasa, dan ketika saya mengatur waktu untuk les privat selama tempo tiga minggu, saya tak bisa menepati jadwal itu satu pun,” tambahnya.
Tetapi, ia tidak merasa terasing sama sekali. Neira menghabiskan banyak waktu luangnya di jejaring sosial, “jadi kalaupun saya sering tak berada di Cile, saya masih merasa terhubung dengan apa yang terjadi berkat komunikasi online yang cepat,” katanya.
“Dengan internet kita tidak meninggalkan negara kita sepenuhnya.”
Versi bahasa Inggris artikel ini Meet the man who travels 350,000 miles a year dapat Anda baca di BBC Capital.

Source :[bbc.com]

Post a Comment

0 Comments